Strategi Mengajar Metode Meniru dan Mengingat (Imitation and Memoriter)
Strategi Mengajar Metode Meniru dan Mengingat (Imitation and Memoriter) - Dalam masyarakat
primitif atau belum maju, orang yang sudah tua merasa puas apabila mereka
berhasil meneruskan kebudayaan (norma-norma, adat istiadat, keterampilan, dan
lain-lain) yang telah diperolehnya kepada generasi muda. Penerusan dan
pengoperan kebudayaan dalam masyarakat primitif itu berlangsung secara
tradidional. Penerusan dan pengoperan secara tradisional ialah menyerahkan
kebudayaan dengan cara-cara tertentu tanpa bereksperimen terlebih dahulu
sehingga cara-caranya amat sedikit dan amat lamban perubahannya.
Perubahan cara dalam
menyajikan sesuatu kebudayaan itu jarang atau sedikit sekali terjadi karena
mereka mudah puas, dan seringkali pula terjadi bahwa perubahan itu dianggap
tabu atau terlarang. Cara-cara (menyajikan sesuatu) atau metode mengajar yang
digunakan dalam masyarakat yang belum maju itu adalah metode meniru dan
mengingat (Imitation and Memoriter Method).
Bagaimanakah berlangsungnya
proses penerusan dan pengoperan kebudayaan dengan menggunakan metode meniru dan
mengingat? Proses penerusan dan pengoperan kebudayaan dengan menggunakan metode
tersebut berjalan sebagai berikut:
1.
Anak-anak disuruh meniru cara bermain orang tua
atau orang yang lebih tua.
2.
Anak-anak bermain sendiri dengan alat-alat
permainan kecil-kecil yang merupakan tiruan permainan orang dewasa.
3.
Setelah anak-anak menjadi lebih besar, mereka
diikutsertakan mengambil bagian dalam aktivitas-aktivitas orang dewasa misalnya
berburu, bertani, dan upacara-upacara keagamaan dan adat. Setelah anak-anak ini
mencapai kedewasaannya, maka mereka diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan
masyarakat secara aktif dan penuh tanggung jawab.
Sejalan dengan
perkembangan kebudayaan dari masyarakat primitif itu maka metode meniru dan
mengingat ini pun makin sempurna. Hal ini dapat terlihat misalnya dalam
mengajarkan cerita-cerita di samping memelajari atau menangkap dan menghafalkan
isi cerita-cerita itu, anak-anak/ orang yang belajar harus pula meniru
cara-cara orang dewasa bercerita. Memang sebelum tulisan memenuhi syarat-syarat
tertentu (belum sempurna) baik tradisi, mite-mite, tata cara harus dihafalkan
dan ditiru oleh generasi muda.
Kapan dan di mana
sajakah metode meniru dan mengingat ini digunakan? Pada zaman serta di manapun
juga metode ini digunakan orang. Sekalipun demikian dari sejarah pendidikan
kita dapat mengetahui bahwa metode meniru dan mengingat sering digunakan di
India, negara-negara barat, lebih-lebih di Tiongkok. Guru-guru pada zaman
Tiongkok Kuno mengajar murid-muridnya dengan menyebutkan atau
mengucapkankalimat demi kalimat yang harus ditiru oleh murid-muridnya, yaitu
dengan mengulangi mengucapkan apa yang diucapkan guru. Sesudah murid-murid
dapat mengucapkan kalimat-kalimat itu dengan tepat, kemudian mereka mengucapkan
lagi kalimat-kalimat itu di hadapan guru dan murid lain. Kalimat-kalimat itu
diucapkan dengan lantang sehingga sampai dewasa ini kita dapat menyaksikan
bahwa sekolah-sekolah Tiongkok pada umumnya ribut dengan suara manusia.
Adapun kebaikan dari
metode meniru dan mengingat ini diantaranya ialah bahwa melalui metode ini
keaslian dari sesuatu (misalnya adat istiadat, ajaran agama, dan sebagainya)
dapat dipertahankan. Selain itu, melalui metode ini dapat pula melatih daya
pengamatan belajar dan juga menghemat waktu serta tenaga.
Metode Meniru dan Mnegingat dalam
Kebudayaan yang Telah Berkembang
sumber:edupost.id |
Metode meniru dan
mengingat sebagaimana yang diuraikan di muka mengalami perkembangan setelah
metode itu digunakan oleh bangsa Romawi. Bangsa Romawi bukanlah suatu bangsa
yang menciptakan metode-metode dalam bidang pendidikan. Metode mengajar yang
digunakan bangsa Romawi adalah ciptaan bangsa Greeka (perlu diingat bahwa
bangsa Romawi pernah menaklukkan dan menjajah bangsa Greeka).
Seperti halnya
anak-anak Yahudi, anak-anak dari bangsa Romawi mempelajari hukum-hukum dan
peraturan-peraturan dengan mengingat-ingat atau menghafalkan
hukum-hukum/peraturan-peraturan itu. Anak-anak atau generasi muda Romawi diajar
atau di didik dengan meniru tingkah laku dan perbuatan-perbuatan ornag tua. Peniruan
ini dilakukan di bawah asuhan seseorang yang disebut pedagoog. Pada waktu-waktu tertentu anak-anak mengikuti orang tua
atau kakak mereka dan pada saat itulah disuruh meniru misalnya tentang berburu,
berbicara dengan ramah, menggunakan alat pertanian, dan tentang kepahlawanan. Pendidik-pendidik
Romawi yang sampai kini masih terasa pengaruhnya adalah Quitillianus (hidup
antara tahun 35-100 Masehi). Quintillianus berpendapat bahwa cara belajar yang
termudah dan efisien ialah dengan melihat dan kemudian mendiru contoh-contoh
dari orang lain. Contoh-contoh yang diperlihatkan hendaknya diambilkan dari
alam sekitar. Mengenai hukuman, Quintillianus menyarankan agar para guru tidak
menghukum anak-anak atau murid terkecuali amat perlu.
Selain Quintillianus,
Dianysus dari Halicarnasus dan Dionysus dai Trace serta Protagoras adalah juga
pendidik-pendidik terkenal berkebangsaan Romawi. Dionysus dari Halicarcasus
menganjurkan cara mengajar tata bahasa (yang waktu amat dipentingkan) sebagai
berikut: “Bila kita mempelajari tata
bahasa, pertama-tama yang harus dipelajari adalah huruf-huruf bersama bunyi
huruf-huruf itu.” Setelah itu bentuk huruf, kemudian suku kata, selanjtnya
jenis kata (part of speech seperti
kata benda, kata kerja, dan seterusnya). Setelah yang diatas dikuasai barulah
mengajarkan membaca dan menulis. Bahan-bahan yang disajikan hendaknya
diambilkan dari karya-karya pengarang ternama. Bahan-bahan yang disajikan itu
hendaknya dianalisa dan didiskusikan. Dianysus dari Trace menganjurkan
langkah-langkah mengajarkan bahasa sebagai berikut:
1.
Guru memilih bahan pelajaran. Bahan itu
dibacakan dengan keras di depan murid. Dalam membaca itu guru harus
memperhatikan ucapan setepat-tepatnya dan gayanya harus pula gaya berpidato.
2.
Menerangkan isi.
3.
Menghubungkan isi bacaan dengan
peristiwa-peritiwa bersejarah atau mitos-mitos.
4.
Memberi komentar terhadap kata-kata penting
serta menerangkan arti kata-kata itu dari sudut etimologi.
5.
Mengajarkan tata bahasa.
6.
Mengkritik bahan yang diajarkan itu. Dalam tahap
ini disertai dengan saran-saran yang positif.
sumber:
Suradji. 2008. Strategi Belajar Mengajar. Surakarta: UNS Press.
No comments:
Post a Comment
Kami mengharapkan saran maupun kritik yang membangun blog kami. Dilarang SARA dan kata-kata yang tidak pantas :)