Pada bagian ini akan dibahas dimensi atau ditilik dari sisi lain dari
sifat hakikat manusia. Ada 4 macam dimensi yang akan dibahas, yaitu:
1. Dimensi
Keindividualan
2. Dimensi
Kesosialan
3. Dimensi
Kesusilaan
4. Dimensi
Keberagaman
1. Dimensi Keindividualan
Lysen mengartikan individu sebagai
“orang-seorang”, sesuatu yang merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat
dibagi-bagi(in devide). Selanjutnya
individu diartikan sebagai pribadi.(Lysen, Indivisu dan Masyarakat: 4.) Setiap
anak manusia yang dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi berbeda
dari orang lain, atau menjadi diri sendiri. Tidak ada diri individu yang
identik di muka bumi. Demikian kata M.J. Lavengeld(seorang pakar pendidikan
tersohor di Negeri Belanda) yang mengatakan bahwa setiap orang memiliki
individualitas(M.J. Lavengeld, 1995:54). Bahkan duan anak kembar yang berasal
dari satu telur pun, yang lazim dikatakan sperti pinang di belah dua, serupa
dan sulit dibedakan satu dari yang lain, hanya serupa tetapi tidak sama apalagi
identik. Secara fisik mungkin bentuk muka sama tetapi terdapat perbedaan
mengenai matanya. Secara kerohanin mungkin kapasitas intelegensinya sama,
tetapi kecenderungan dan perhatiannya terhadap sesuatu berbeda. Karena adanya
individualitas itu setiap orang memeliki kehendak, perasaan, cita-cita,
kecenderungan, semangat, dan daya tahan yang berbeda.
Kesanggupan untuk memikul tanggung
jawab sendiri merupakan ciri yang sangat esensial dari adanya individualitas
pada diri manusia. M.J. Lavengeld menyatakan bahwa setiap anak memiliki
dorongan untuk mandiri yang sangat kuat, meskipun di sisi lain pada anak
terdapat rasa tidak berdaya, sehingga memerlukan pihak lain(pendidik) yang
dapat dijadikan tempat bergantung untuk memberi perlindungan dan bimbingan.
Sifat-sifat yang telah digambarkan di atas yang secara potensial telah dimiliki
sejak lahir perlu ditumbuhkembangkan melalui pendidikan agar bisa menjadi
kenyataan. Pola pendidikan yang bersifat demokratis dipandang cocok untuk
mendorong bertumbuh dan berkembangnya potensi individualitas sebagaimana
dimaksud. Pola pendidikan yang menghambat perkembangan individualitas dalam
hubungan ini disebut pendidikan yang patologis. Tugas pendidik hanya
menunjukkan jalan dan mendorong subjek didik bagaimana cara memeroleh sesuatu
dalam mengembangkan diri dengan berpedoman pada prinsip ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karso, tut wuri handayani.
2. Dimensi Kesosialan
Setiap bayi lahir dikaruniai
potensi sosialitas.(M.J. Langeveld, 1955:54). Artinya, setiap orang dapat
saling berkomunikasi yang pada hakikatnya di dalamnya terkadung unsur saling
memberi dan menerima. Bahkan menurut Langeveld, adnya kesediaan untuk saling
memberi dan menerima itu dipandang sebagai kunci sukses pergaulan.
Adanya dimensi kesosialan pada diri
manusia tampak lebih jelas pada dorongan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan
untuk bergaul, setiap orang ingin bertemu dengan sesamanya. Immanuel Kant
seorang filosof Jerman menyatakan manusia hanya menjadi manusia jika berada di
antara manusia. Seseorang hanya dapat mengembangkan individualitas dan
mengembangkan kegemaran, sikap, dan cita-citanya di dalam lingkungan sosial. Seseorang
berkesempatan untuk belajar dari orang lain, mengidentifikasi sifat-sifat yang
dikagumi dari orang lain untuk dimilikinya, serta menolak sifat-sifat yang
tidak cocok dengannya. Hanya di dalam berinteraksi dengan sesamanya, dalam
saling menerima dan memberi, seseorang menyadari dan menghayati kemanusiannya.
3. Dimensi Kesusilaan
Susila berasal dari ka su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Dalam bahasa ilmiah
sering digunakan dua macam istilah yang mempunyai konotasi yang berbeda yaitu etiket(persoalan kepantasan dan kesopanan)
dan etika(persoalan kebaikan). Jika etika
dilanggar akan merugikan orang lain, sedangkan etiket dilanggar hanya akan
mengaibatkan ketidaksenangan orang
lain.
Sehubungan dengan hal tersebut ada
dua pendapat, yaitu:
a.
Golongan yang menganggap bahwa kesusilaan
mencakup kedua-duanya. Etiket tidak usah dibedakan dari etika karena sama-sama
dibutuhkan dalam kehidupan. Kedua-duanya bernilai erat.
b.
Golongan yang memandang bahwa etiket perlu
dibedakan dari etika, karena masing-masing mengandung kondisi yang tidak
selamanya selalu sejalan. Orang yang sopan belum tentu baik, dalam arti tidak
merugikan orang lain. Sebaliknya orang yang baik belum tentu halus dalam hal
kesopanan. Kesopanan menjadi minyak pelincir dalam pergaulan hidup, sedang
etika merupakan isinya. Kesopanan dan kebaikan masing-masing diperlukan demi
keberhasilan hidup masyarakat.
Drijarkara mengartikan manusia susila sebagai manusia yang memiliki,
menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam perbuatan.(Drijarkara,
1978: 36-39.). Nilai-nilai merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia
karena mengandung makna kebaikan, keluhuran, kemuliaan dan sebagainya, sehingga
dapat diyakini dan dijadikan pedoman dalam hidup. Dilihat dari asalnya nilai
dibedakan atas tiga macam, yaitu: Nilai
otonom yang bersifat individual(kebaikan menurut pendapat seseorang), nilai heteronom yang bersifat
kolektif(kebaikan menurut kelompok), dan nilai
keagamaan yaitu nilai yang berasal dari Tuhan.
Pemahaman dan Pelaksanaan Nilai
Dalam
kenyataan hidup ada dua hal yang muncul dari persoalan nilai, yaitu kesadaran
dan pemahaman terhadap nilai dan kesanggupan melaksanakan nilai. Untuk dapat
melakukan apa yang semestinya dilakukan terlebih dahulu orang harus mengetahui,
menyadari, memahami, dan melaksanakan nilai-nilai. Tetapi dalam kenyataannya
orang yang memahami nilai bahkan juga memiliki wawasan yang luas tidak memiliki
susila. Kejadian seperti itu sangat wajar, karena memahami adalah kemampuan
menalar(kognitif), sedangkan bersedia melaksanakan adalah sikap(kemampuan
afektif), yang masing-masing memiliki kondisi yang berbeda. Dari memahami perlu
menyakini, untuk berikutnya menuju ke peinternalisasian nilai-nilai kemudian
kemauan atau kesediaan untuk melaksanakan nilai-nilai, baru sampai kepada melakukannya.
Berdasarkan uraian tersebut maka
pendidikan kesusilaan meliputi rentangan yang luas penggarapannya, mulai dari
ranah kognitif yaitu dari mengetahui sampai kepada menginternalisasi nilai sampai kepada ranah afektif dari
meyakini, meniati sampai kepada siap sedia untuk melakukan. Konsekuensinya adalah
sering memakan waktu yang lama dalam pemrosesannya, berkesinambungan, dan
memerlukan kesabaran serta ketekunan dari pendidik. Implikasi pedagogisnya
ialah bahwa pendidikan kesusilaan berarti menanamkan kesadaran dan kesediaan
melakukan kewajiban di samping menerima hak pada peserta didik. Pada masyarakat
kita, pemahaman terhadap hak(secara objektif rasional) masih perlu ditanamkan
tanpa mengabaikan kesadaran dan kesediaan melaksanakan kewajiban.
4. Dimensi Keberagaman
Pada kakitnya manusia adalah makhluk
religius dan memerlukan agama menjadi sandaran vertikal manusia. Manusia dapat
menghayati agama melalui proses pendidikan agama. Ph. Kohnstamm berpendapat
bahwa penddikan agama seyogyanya menjadi tugas orang tua dalam lingkungan
keluarga, karena pendidikan agama adalah persoalan afektif dan kata hati.(M.
Thayeb, 1972: 14-15). Tetapi untuk pengkajian agama secara massal dapat
dimanfaatkan misalnya pendidikan agama di sekolah.
Referensi: Tirtarahardja