• About
  • Contact
  • Submit Article

Dimensi-Dimensi Hakikat serta Potensi, Keunikan, dan Dinamikanya

 on Wednesday, September 14, 2016  


Pada bagian ini akan dibahas  dimensi atau ditilik dari sisi lain dari sifat hakikat manusia. Ada 4 macam dimensi yang akan dibahas, yaitu:
1.       Dimensi Keindividualan
2.       Dimensi Kesosialan
3.       Dimensi Kesusilaan
4.       Dimensi Keberagaman
Dimensi-Dimensi Hakikat serta Potensi, Keunikan, dan Dinamikanya
Tahapan Manusia

1.    Dimensi Keindividualan
Lysen mengartikan individu sebagai “orang-seorang”, sesuatu yang merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi(in devide). Selanjutnya individu diartikan sebagai pribadi.(Lysen, Indivisu dan Masyarakat: 4.) Setiap anak manusia yang dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi berbeda dari orang lain, atau menjadi diri sendiri. Tidak ada diri individu yang identik di muka bumi. Demikian kata M.J. Lavengeld(seorang pakar pendidikan tersohor di Negeri Belanda) yang mengatakan bahwa setiap orang memiliki individualitas(M.J. Lavengeld, 1995:54). Bahkan duan anak kembar yang berasal dari satu telur pun, yang lazim dikatakan sperti pinang di belah dua, serupa dan sulit dibedakan satu dari yang lain, hanya serupa tetapi tidak sama apalagi identik. Secara fisik mungkin bentuk muka sama tetapi terdapat perbedaan mengenai matanya. Secara kerohanin mungkin kapasitas intelegensinya sama, tetapi kecenderungan dan perhatiannya terhadap sesuatu berbeda. Karena adanya individualitas itu setiap orang memeliki kehendak, perasaan, cita-cita, kecenderungan, semangat, dan daya tahan yang berbeda.
Kesanggupan untuk memikul tanggung jawab sendiri merupakan ciri yang sangat esensial dari adanya individualitas pada diri manusia. M.J. Lavengeld menyatakan bahwa setiap anak memiliki dorongan untuk mandiri yang sangat kuat, meskipun di sisi lain pada anak terdapat rasa tidak berdaya, sehingga memerlukan pihak lain(pendidik) yang dapat dijadikan tempat bergantung untuk memberi perlindungan dan bimbingan. Sifat-sifat yang telah digambarkan di atas yang secara potensial telah dimiliki sejak lahir perlu ditumbuhkembangkan melalui pendidikan agar bisa menjadi kenyataan. Pola pendidikan yang bersifat demokratis dipandang cocok untuk mendorong bertumbuh dan berkembangnya potensi individualitas sebagaimana dimaksud. Pola pendidikan yang menghambat perkembangan individualitas dalam hubungan ini disebut pendidikan yang patologis. Tugas pendidik hanya menunjukkan jalan dan mendorong subjek didik bagaimana cara memeroleh sesuatu dalam mengembangkan diri dengan berpedoman pada prinsip ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karso, tut wuri handayani.
2.    Dimensi Kesosialan
Setiap bayi lahir dikaruniai potensi sosialitas.(M.J. Langeveld, 1955:54). Artinya, setiap orang dapat saling berkomunikasi yang pada hakikatnya di dalamnya terkadung unsur saling memberi dan menerima. Bahkan menurut Langeveld, adnya kesediaan untuk saling memberi dan menerima itu dipandang sebagai kunci sukses pergaulan.
Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampak lebih jelas pada dorongan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul, setiap orang ingin bertemu dengan sesamanya. Immanuel Kant seorang filosof Jerman menyatakan manusia hanya menjadi manusia jika berada di antara manusia. Seseorang hanya dapat mengembangkan individualitas dan mengembangkan kegemaran, sikap, dan cita-citanya di dalam lingkungan sosial. Seseorang berkesempatan untuk belajar dari orang lain, mengidentifikasi sifat-sifat yang dikagumi dari orang lain untuk dimilikinya, serta menolak sifat-sifat yang tidak cocok dengannya. Hanya di dalam berinteraksi dengan sesamanya, dalam saling menerima dan memberi, seseorang menyadari dan menghayati kemanusiannya.
3.    Dimensi Kesusilaan
Susila berasal dari ka su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Dalam bahasa ilmiah sering digunakan dua macam istilah yang mempunyai konotasi yang berbeda yaitu etiket(persoalan kepantasan dan kesopanan) dan etika(persoalan kebaikan). Jika etika dilanggar akan merugikan orang lain, sedangkan etiket dilanggar hanya akan mengaibatkan ketidaksenangan orang lain.
Sehubungan dengan hal tersebut ada dua pendapat, yaitu:
a.         Golongan yang menganggap bahwa kesusilaan mencakup kedua-duanya. Etiket tidak usah dibedakan dari etika karena sama-sama dibutuhkan dalam kehidupan. Kedua-duanya bernilai erat.
b.         Golongan yang memandang bahwa etiket perlu dibedakan dari etika, karena masing-masing mengandung kondisi yang tidak selamanya selalu sejalan. Orang yang sopan belum tentu baik, dalam arti tidak merugikan orang lain. Sebaliknya orang yang baik belum tentu halus dalam hal kesopanan. Kesopanan menjadi minyak pelincir dalam pergaulan hidup, sedang etika merupakan isinya. Kesopanan dan kebaikan masing-masing diperlukan demi keberhasilan hidup masyarakat.
Drijarkara mengartikan manusia susila sebagai manusia yang memiliki, menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam perbuatan.(Drijarkara, 1978: 36-39.). Nilai-nilai merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia karena mengandung makna kebaikan, keluhuran, kemuliaan dan sebagainya, sehingga dapat diyakini dan dijadikan pedoman dalam hidup. Dilihat dari asalnya nilai dibedakan atas tiga macam, yaitu: Nilai otonom yang bersifat individual(kebaikan menurut pendapat seseorang), nilai heteronom yang bersifat kolektif(kebaikan menurut kelompok), dan nilai keagamaan yaitu nilai yang berasal dari Tuhan.
Pemahaman dan Pelaksanaan Nilai
          Dalam kenyataan hidup ada dua hal yang muncul dari persoalan nilai, yaitu kesadaran dan pemahaman terhadap nilai dan kesanggupan melaksanakan nilai. Untuk dapat melakukan apa yang semestinya dilakukan terlebih dahulu orang harus mengetahui, menyadari, memahami, dan melaksanakan nilai-nilai. Tetapi dalam kenyataannya orang yang memahami nilai bahkan juga memiliki wawasan yang luas tidak memiliki susila. Kejadian seperti itu sangat wajar, karena memahami adalah kemampuan menalar(kognitif), sedangkan bersedia melaksanakan adalah sikap(kemampuan afektif), yang masing-masing memiliki kondisi yang berbeda. Dari memahami perlu menyakini, untuk berikutnya menuju ke peinternalisasian nilai-nilai kemudian kemauan atau kesediaan untuk melaksanakan nilai-nilai, baru sampai kepada melakukannya.
          Berdasarkan uraian tersebut maka pendidikan kesusilaan meliputi rentangan yang luas penggarapannya, mulai dari ranah kognitif yaitu dari mengetahui sampai kepada menginternalisasi  nilai sampai kepada ranah afektif dari meyakini, meniati sampai kepada siap sedia untuk melakukan. Konsekuensinya adalah sering memakan waktu yang lama dalam pemrosesannya, berkesinambungan, dan memerlukan kesabaran serta ketekunan dari pendidik. Implikasi pedagogisnya ialah bahwa pendidikan kesusilaan berarti menanamkan kesadaran dan kesediaan melakukan kewajiban di samping menerima hak pada peserta didik. Pada masyarakat kita, pemahaman terhadap hak(secara objektif rasional) masih perlu ditanamkan tanpa mengabaikan kesadaran dan kesediaan melaksanakan kewajiban.
4.    Dimensi Keberagaman

Pada kakitnya manusia adalah makhluk religius dan memerlukan agama menjadi sandaran vertikal manusia. Manusia dapat menghayati agama melalui proses pendidikan agama. Ph. Kohnstamm berpendapat bahwa penddikan agama seyogyanya menjadi tugas orang tua dalam lingkungan keluarga, karena pendidikan agama adalah persoalan afektif dan kata hati.(M. Thayeb, 1972: 14-15). Tetapi untuk pengkajian agama secara massal dapat dimanfaatkan misalnya pendidikan agama di sekolah.

Referensi: Tirtarahardja


Dimensi-Dimensi Hakikat serta Potensi, Keunikan, dan Dinamikanya 4.5 5 Unknown Wednesday, September 14, 2016 Dimensi-Dimensi Hakikat serta Potensi, Keunikan, dan Dinamikanya Pada bagian ini akan dibahas  dimensi atau ditilik dari sisi lain dari sifat hakikat manusia . Ada 4 macam dimensi yang akan dibahas, yai...


No comments:

Post a Comment

Kami mengharapkan saran maupun kritik yang membangun blog kami. Dilarang SARA dan kata-kata yang tidak pantas :)

Kuingin Baca