Pancasila Sebagai Identitas dan Nilai Integratif
A.
Pancasila sebagai Identitas Bangsa
Kata identitas dapat dipersamakan dengan istilah jati diri.
Menurut Atmosudiro (2004) jati diri bangsa identik dengan identitas nasional.
Identitas nasional yang berasal dari kata “national
identity” dapat diartikan sebagai jati diri nasional yakni jati diri yang
dimilikioleh suatu bangsa.
Pancasila sebagai identitas bangsa atau jati diri bangsa
telah banyak diakui para ahli. Kaelan (2002) menyatakan jati diri bangsa Indonesia
adalah nilai-nilai yang merupakan hasil buah pikiran dan gagasan dasar bangsa
Indonesia tentang kehidupan yang dianggap baik yang memberikan watak, corak,
dan ciri masyarakat Indonesia. Corak dan watak itu adalah bangsa yang religius,
menghormati bangsa dan manusia lain, adanya persatuan, gotong royong, dan
musyawarah serta ide tentang keadilan sosial. Nilai-nilai dasar itu dirumuskan
sebagai nilai-nilai Pancasila sehingga Pancasila dikatakan sebagai jati diri
bangsa.
Simbol NKRI yaitu Garuda Pancasila |
Para the founding
fathers kita pada waktu merangcang berdirinya negara Republik Indonesia
membahas mengenai dasar negara yang akan didirikan. Soekarno mengusulkan agar
dasar negara yang akan didirikan itu adalah Pancasila, yang merupakan prinsip
dasar dan nilai dasar negara yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
Indonesia yang mempribadi dalam masyarakat dan merupakan suatu living reality. Pancasila ini sekaligus
merupakan jati diri bangsa Indonesia (Lembaga Pengkajian dan Pengembangan
Kehidupan Bernegara, 2006).
Hardono Hadi (1994) mengajukan tesis filosofis bahwa
Pancasila merupakan jati diri bangsa Indonesia. Ia menggunakan istilah “jati
diri” bukan “kepribadian” karena secara filosofis memiliki jangkauan yang lebih
luas. Kata “kepribadian” hanyalah pernyataan yang didasarkan ada pemahaman umum
tentang kepribadian, sedangkan kata jati diri memiliki muatan yang lebih padat
meskipun baru berkembang akhir-akhir ini. Kepribadian hanyalah merupakan salah
satu aspek dari jati diri.
Selanjutnya dikatakan Pancasila sebagai pernyataan jati diri
bangsa mencakup tiga aspek yakni Pancasila sebagai kepribadian bangsa,
Pancasila sebagai identitas bangsa dan sebagai keunikan bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai kepribadian bangsa mencerminkan bahwa Pancasila itu
mencerminkan kenyataan akan nilai-nilai yang telah ada sebagai hasil interaksi
antar kebudayaan dan masyarakat ideologi sebagai pembentuknya. Pancasila
sebagai identitas bangsa Indonesia dimaksudkan unsur-unsur dasar kebudayaan
bangsa Indonesia menjadi ciri khas dai waktu ke waktu sepanjang hidup berbangsa
Indonesia. Dengan demikian sebagai kepribadian dan keunikan bangsa Indonesia,
Pancasila tidak hanya kenyataan tetapi juga mencerminkan kenyataan mandiri yang
mempunyai idealisme sendiri. Pancasila menjadi keunikan bangsa Indonesia ketika
pendukung unsur kepribadian dan identitas itu bergaul dengan masyarakat dunia
atau bangsa-bangsa lain d dunia. Keunikan itu terjadi bukan dalam keterpisahan
tetapi terjadi dalam pergaulan. Secara singkat dikatakan Pancasila sebagai
pernyataan jati diri, di satu pihak mempunyai dasarnya pada fakta empiris, di
lain pihak Pancasila merupakan pedoman yang membimbing kehidupan bangsa dan
cita-cita yang masih harus digulati terus-menerus (Hardono Hadi, 1994).
R. Soeprapto (2009) menyebut salah satu kedudukan Pancasila
adalah sebagai jati diri bangsa Indonesia, sedangkan kedudukan lain adalah
Pancasila sebagai Ideologi nasional bangsa Indonesia, dasar negara dari NKRI,
pandangan hidup bangsa Indonesia, dan Pancasila ligatur bangsa Indonesia. Pancasila merupakan prinsip dasar dan nilai
dasar yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia, yang mempribadi
dalam masyarakat dan merupakan suatu living
reality (kenyataan hidup). Pancasila ini sekaligus merupakan jati diri
bangsa Indonesia.
B.
Pancasila sebagai Nilai Integratif
Pancasila sebagai nilai integratif dalam arti nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya dipandang sebagai nilan bersama masyarakat
Indonesia. Dengan penerimaan semua elemen masyarakat Indonesia terhadap nila
Pancasila maka masyarakat menjadi bersatu di atas landasan nilai bersama
tersebut.
Pandangan demikian sejalan dengan teori fungsionalisme
struktural. Menurut Nasikun (1984) perspektif teori fungsionalisme struktural
menyatakan bahwa suatu sistem sosial bisa terintegrasi di atas dua landasan. Pertama,
suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus di antara
sebagian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat
fundamental. Kedua, duatu masyarakat senantiasa terintegrasi karena berbagai anggota
masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross cutting affiliation).
Mengikuti pandangan para penganut fungsionalisme,
struktural ini maka faktor yang mampu mengintegrasikan masyarakat Indonesia
tentulah berupa kesepakatan para warga masyarakat Indonesia akan nilai-nilai
umum tertentu. Kelangsungan hidup masyarakat Indonesia tidak saja menuntut
tumbuhnya nilai-nilai umum tertentu yang disepakati bersama tetapi lebih dari
itu harus pula mereka hayati benar melalui proses sosialisasi. Konsensus nasional
tentang bagaimana kehidupan bangsa Indonesia harus diwujudkan dan
diselenggarakan unuk sebagian besar telah kita temukan pada Pancasila. Pancasila
merupakan nilai bersama yang selanjutnya mampu mengintegrasikan masyarakat
Indonesia.
Sunyoto Usman (Ichlasus Amal & Armaidy Armawi, 1998)
menyatakan bahwa masyarakat dapat terintegrasi di atas kesepakatan sebagian
besar anggotanya terhadap nilai-nilai sosial tertentu yang dianggap
fundamental. Selanjutnya dikatakan bahwa sejarah telah membuktikan masyarakat
Indonesia telah terintegrasi diatas nilai sosial yang sangat fundamental yakni
Pancasila. Sila-sila yang terendap dalam Pancasila ditempatkan sebagai faktor
yang diyakini mampu menumbuhkan dan mempertahankan rasa kebersamaan dalam
kebhinekaan. Sila-sila tersebut adalah acuan interaksi segenap anggota masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingan politik.
Mengikut dua endapat di atas, semakin jelas bahwa
masyarakat Indonesia dapat berintegrasi dan senantiasa mampu menjaga
integrasinya, karena ada nilai bersama yang dipegang dan dijunjung tinggi. Nilai
bersama itu ada di dalam Pancasila. Selama masyarakat dan elemen bangsa
mengakui dan menjunjung tinggi Pancasila sebagai nilai bersama maka selama itu
pula integrasi dapat terjaga.
Apa yang dikemukakan di atas sejalan dengan pendapat
Soekarno pada Kuliah Umum tentang Pancasila di Istana Negara tanggal 26 Mei
1958 bahwa Pancasila selai sebagai dasar negara ia adalah alat untuk
mempersatukan. Soekarno yakin bahwa bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke
hanya dapat bersatu padu di atas dasar Pancasila. Ia buka saja alat mempersatu
untuk di atasnya beridiri negara Republik Indonesia, tetapi juga alat
mempersatu dalam perjuangan bangsa melenyapkan penyakit imperialisme (PSP UGM
& Yayasan Tifa, 2008).
Pancasila sebagai nilai integratif selain bermakna sebagai
pemersatu juga dapat dijadikan sebagai panduan penyelesaian konflik bilamana
terjadi di masyarakat. Kedudukan nilai sosial bersama di masyarakat untuk
menjadi sumber normatif bagi penyelesaian konflik bagi para anggotanya adalah
hal penting. Masyarakat membutuhkan nilai bersama untuk dijadikan acuan manakala
konflik antar anggota terjadi. Pertentangan dan perbedaan dapat didamaikan
dengancara para pihak yang berseteru menyetujui dan mendasarkanpada nilai
bersama. Dengan demikian integrasi dalam masyarakat dapat dibangun kembali.
Pancasila adalah kata kesepakatan dalam masyarakat bangsa. Kata
kesepakatan ini juga mengandung makna sebagai konsensus bahwa dalam hal konflik
maka lembaga politik yang diwujudkan bersama akan memainkan peran sebagai
penengah. Fungsi Pancasila di sini adalah bahwa dalam hal pembuatan prosedur
penyelesaian konflik, nilai-nilai Pancasla menjadi acuan normatif bersama. Menyelesaikan
konflik yang ada di masyarakat hendaknya berasaskan pada prinsip-prinsip:
1.
Penyelesaian suatu konflik hendaknya dilandasi
oleh nilai-nilai religius,
2.
Menghargai derjat kemanusiaan,
3.
Mengedepankan persatuan,
4.
Mendasarkan pada prosedur demokratis, dan
5.
Berujung pada terciptanya keadilan.
sumber:
Narmoatmojo, W., Ediyono, S., Rejekiningsih, T., Permata, R. V. 2015. Pendidikan Kewargenagaraan untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
No comments:
Post a Comment
Kami mengharapkan saran maupun kritik yang membangun blog kami. Dilarang SARA dan kata-kata yang tidak pantas :)