Landasan dan Prinsip Pengembangan Kurikulum Part 1
Landasan dan Prinsip Pengembangan Kurikulum Part 1 - Apapun model kurikulum yang akan
diterapkan harus memilikinlandasan dan prinsip pengembangan. Landasan pengembangan
kurikulum dikaji secara mendalam sehingga tidak salah tafsir terhadap kondisi
masyarakat yang akan dikembangkan dan tidak salah prediksi tentang masa depan. Sedangkan
prinsip pengembangan harus diperhatikan oleh setiap pengembang agar kurikulum
yang diciptakannya tidak tersesat.
Kajian
landasan kurikulum memiliki empat dimensi yaitu landasan filosofis, landasan
psikologis, landasan sosiologis, dan landasan organisatoris. Semuanya dipertimbangkan
dalam setiap pengembangan kurikulum.
1.
Landasan Filosofis Pengembangan Kurikulum
Wina Sanjaya (2008)
menyatakan bahwa fungsi filsafat dalam proses pengembangan kurikulum adalah
untuk menentukan arah dan tujuan pendidikan, menentukan isi atau materi
kurikulum, menentukan srategi atau cara pencapaian tujuan, dan menentukan tolak
ukur keberhasilan pendidikan.
Atas dasar tersebut,
setiap kebijakan kurikulum yang diberlakukan di suatu negara harus bersifat
transparan. Artinya terbuka dan harus diketahui oleh masyarakat. Jika ada
kurikulum yang dikembangkan berdasar pada kepentingan sesaat maka tidak hanya
merugikan materiil tetapi juga mengorbankan masa depan generasi penerus bangsa
kita.
Pilihan filsafat yang
dapat dijadikan landasan pengembangan kurikulum menurut Ella Yulaelawati (2003)
ada lima filsafat dasar dalam pengembangan kurikulum yaitu perenialisme, esenisalisme, eksistensialisme,progresivisme dan rekonstruktivisme:
a.
Perenialisme adalah filsafat yang memimpikan
keteraturan hidup sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang mapan. Dengan demikian,
pendidikan harus diarahkan pada kajian kebudayaan di masa lalu yang telah teruji
dan tangguh dalam membangun masyarakat. Perenialisme menganjurkan untuk
menggunakan prinsip-prinsip yang telah baku dan terbukti ampuh membentuk suatu
kepribadian, sikap, dan kebiasaan peserta didik.
b.
Esensialisme adalah filsafat yang memandang penting
proses pewarisan budaya dalam pendidikan. Agar dapat menjadi anggota masyarakat
yang berguna, peserta didik diberi pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan
oleh masyarakat.
c.
Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang
kebenaran berdasarkan pada diri manusia secara individu. Pandangan terhadap
nilai kebenaran adalah relatif karena itu masing-masing individu bebas untuk
menentukan sesuatu yang dianggap benar. Doktrin filsafat eksistensialisme yang
paling dikenal adalah dari Jean Paul Sartre yaitu “human is condemned to be free”, manusia telah ditakdirkan untuk
bebas dan karena itu berusaha untuk tidak tergantung kepada siapapun. Namun demikian,
mereka masih menghargai bahwa karena kebebasan dimiliki oleh setiap manusia,
maka kebebasan akan dibatasi oleh kebebasan orang lain. Dalam pendidikan,
eksistesialis masaih dapat digunakan karena memiliki nilai kebebasan untuk
mengkaji banyak hal, baik tentang enda, perasaan, pikiran, maupun tentang
eksistensi manusia itu sendiri. Hal ini akan membuka diri terhadap pengalaman
baru dan menghargai pendapat orang lain.
d.
Progresivisme adalah aliran filsafat untuk
mempertahankan hidup, dengan bebas menentukan jalan yang akan ditempuhnya. Nilai-nilai
yang dianutnya bersifat fleksibel, terbuka terhadap perubahan, dan toleran. Aliran
ini mengharapkan peserta didik untuk selalu merasa ingin tahu, suka meneliti,
mencari pengalaman hidup, terbuka, sangat suka terhadap ide-ide baru, dan
mendengarkan kritik dari lawan bicaranya. Dalam pendidikan, pengaruh aliran ini
sangat mendalam dan banyak dianjurkan karena menuntut peserta didik untuk aktif
belajar.
e.
Rekonstruktivisme adalah pengembangn dari aliran
progresisme yang menuntut kreativitas peserta didik dalam pemecahan masalah. Karena
itu sangat didorong agar mereka mampu berpikir kritis untuk mencari solusi.
Aliran perenialisme,
esensialisme, dan eksistensialisme umumnya digunakan untuk memberi landasan
terhadap karakter dan agama sehingga sering menggunakan nama mata pelajaran
sesuai dengan disiplin ilmu yang telah berkembang sejak dulu. Aliran filsafat
progresivisme banyak mendukung model kurikulum humanistik. Sedangkan filsafat
rekonstruktivisme dijadikan landasan dalam pengembangan model rekonstruksi
sosial dan interaksional sosial. Landasan filosofi kurikulum biasanya diarahkan
untuk mendiskusikan tentang tujuan pendidikan secara umum dan akan menjalarkan
kepada masalah lain dari komponen kurikulum.
2.
Landasan Psikologis Pengembangan Kurikulum
Landasan psikologis
memliki fungsi sebagai pemandu dalam pelaksanaan kurikulum, khususnya memandu
pelaksanaan pmbelajaran. Banyak teori psikologis yang dapat dipilih untuk
mengembangkan kurikulum. Namun secara umum akan mengacu pada empat teori yaitu
teori belajar behavioristik (fungsionalistik), kognitivistik, humanistik, dan
konstruktivistik.
Teori belajar
behavioristik memandang keberhasilan belajar seseorang dari perubahan tingkah
lakunya. Untuk meningkatkan efektivitas belajar, perlu mengontrol instrument
yang berasal dari pengkondisian lingkungan.
Dari sekian ahli, yang
cukup menonjol adalah Thorndike dan Skinner. Menurut Thorndike, belajar adalah
proses timbal balik dari stimulus dan respon. Stimulu adalah rangsangan yang
menimbulkan proses belajar sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan pada
saat belajar. Perubahan tingkah laku merupakan proses yang dilatihkan melalui
stimulus dan respon. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori
koneksionismen (Slavin, 2000). Skinner mengembangkan aliran behavioristik
dengan teori operant conditioning. Menurut
Skinner, belajar adlah proses respons yang dibentuk karena penguatan terhadap
perubahan tingkah laku yang dikehendaki. Skinner menyarankan agar guru selalu
memberi penguatan positif secara sistematis, bervairiasi, dan sesegera mungkin
ketika terjadi respon belajar dari peserta didik supaya tingkah laku baik
tersebut, dilakukan kembali oleh peserta didik. (Puskurbuk, 2012).
Teori bevaioristik
memberi manfaat bagi pengembang kurikulum untuk memikirkan tentang skenario
pembelajaran yang dapat menimbulkan proses belajar peserta didik, baik yang
bersifat langsung (instructional effect)
maupun yang tidak langsung (nurturant
effect). Pengembang kurikulum harus dapat memastikan standar sarana dan
prasaran bangunan, ruang kelas, luas halaman sekolah, dan berbagai lingkungan
yang dibutuhkan yang dapat menimbulkan proses belajar bagi peserta didik. Teori
lain yang sering dijadikan pertimbangan oleh tim pengembang kurikulum adalah
teor kognitif. Jerome Bruner merupakan pelopor aliran ini. Ia mengatakan bahwa
pengetahuan manusia itu diperoleh melalui proses kesadaran dan akan berhasil
jika yang bersangkutan aktif membangun pengetahuannya sendiri dari informasi
yang diperolehnya. Selanjutnya Bruner mengatakan bahwa untuk memudahkan
belajar, diperlukan “scaffolding”
atau perancah untuk menempatkan informasi pada cabang-cabangnya. Berdasarkan pada
konsep scaffolding, kurikulum
sebaiknya dikembangkan secara spiral yaitu mengajarkan secara bertahap dari hal
yang sederhana menuju hal yang rumit dan dari lingkungan terdekat menuju
lingkungan yang lebih luas.
Tokoh aliran kognitif
lainnya yang sangat terkenal adalah Jean Piaget yang telah membagi fase
perkembangan intelektual anak ke dalam empat tahapan (Yani, 2010), yaitu:
a.
Tahap sensor motorik (0-2 tahun) dengan ciri
kemampuan anak megenal lingkungannya melalui alat sensoriknya dan belum
memiliki konsepsi yang mendalam. Ia mempercayai apa yang dilihat dan tidak
meyakini terhadap sesuatu yang tifak dilihat atau dirasakannya. Anak yang
ditinggal oleh ibunya menangis.
b.
Tahap pra operasional (2-7 tahun) dengan ciri
perkembangan sudah mengenali diri dan mampu memersepsi tentang realitas
kehidupan yang ada di luar dirinya. Ia telah mampu menggunakan bahasa, memahami
konsep, memakai simbol, membuat gambar, dan mengelompokkan warna dan bentuk
yang berbeda.
c.
Tahap operasional konkrit (7-10 tahun). Anak sudah
mampu bepikir logis. Mereka sudah memiliki konsepsi yang lengkap tentang
realitas. Selain itu, ia dapat mengikuti penalaran logis walaupun terkadang
suka mencoba-coba pada saat mengatasi masalah (trial and error).
d.
Tahap operasional formal (11 tahun ke atas). Peserta
didik sudah dianggap dewasa, mampu berpikir abstrak, dan dianggap matang secara
intelektual. Anak sudah mampu belajar mandiri dan menambah ilmu pengetahuannya.
Piaget juga mengatakan
bahwa dalam proses penambahan ilmu pengetahuan, pada setiap individu akan
mengalami proses asimilasi dan akomodasi. Asimiliasi adalah proses penambahan
pengetahuan tanpa mengubah skema awal yang telah ada. Sedangkan akomodasi
adalah menyususn dan membangun kembali apa yang telah diketahui sebelumnya
akibat ada informasi yang baru dan tidak cocok dengan skema awal. Ia mengubah
konsep awal dan digantikan dengan yang baru atau sedikit dimodifikasi sehingga
menjadi ilmu pengetahuan baru. (Suparno, 1997).
Teori lain yang juga
dijadikan bahan pertimbangan dalam pengembangan kurikulum adalah teori
humanistik. Aliran ini berusaha mencari jalan agar dapat menumbuhkembangkan
manusia dengan sempurna. Materi ajr dipilih secara selektif yaitu memilih yang
terbaik bagi peserta didik. Tokoh yang paling populer adalah Abraham Maslow
yang memerkenalkan teori kebutuhan. Tahapan kebutuhan yang harus terpenuhi
adalah kebutuhan biologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan ssial, kebutuhan
untuk berprestasi, dan kebutuhan aktualisasi. Gagasan pokok teori ini adalah
memberi kebebasan kepada peserta didik untuk menentukan materi dan cara
belajarnya sesuai dengan minatnya. Peserta didik diminta untuk berani mengambil
keputusan sendiri dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambil.
Teori belajar lain yang
saat ini menjadi pusat perhatian adalah teori konstruktivistik yang memahami
belajar dan proses pembentukan pengetahuan dan bukan hasilnya. Gagasan pokoknya
adalah bahwa pengetahuan tu tidak dapat dipindahkan (dituangkan, ditransfer,
atau dijejalkan) dari otak seseorang kepada otang orang lain. Penetahuan hanya
dapat dibentuk oleh peserta didik dan pihak guru hanya berperan sebagai
fasilitator agar peserta didik mampu menkonstruksi pengetahuan sendiri. Aliran ini
memandang bahwa belajar seperti menyusun puzzle yang ditata secara khas oleh
individu hingga akhirnya bermakna bagi dirinya. (Suparno, 1997).
Kelanjutan materi ini bisa di klik Landasan dan Prinsip Pengembangan Kurikulum Part 2