Media Pendidikan dan Perkembangannya
A.
Media Pendidikan
Kata media berasal dari bahasa
Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah berarti
perantara atau penganta. Medòë adalah perantara atau pengantar pesan dari
pengirim ke penerima pesan.
Banyak
batasan yang diberikan orang tentang media. Asosiasi Teknologi dan Komunikasi
Pendidikan (Association of Education and
Communication Technoloy/AECT) di Amerika, membatasi media sebagai segala
bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan/informasi. Gagne
(1970) menyatakan bahwa media adalahberbagai jenis komponen dalam lingkungan
siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar. Sementara itu, Briggs (1970)
berpendapat bahwa media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan
dan merangsang siswa untuk belajar. Contohnya buku, film, kaset, film bingkai,
musik, dan lain sebagainya.
Asosiasi Pendidikan
Nasional (National Education Association/NEA) memiliki pengertian yang berbeda.
Media adalah bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak maupun audiovisual serta
perlatannya. Media hendaknya dapat dimanipulasi, dilihat, didengar, dan dibaca.
Apapun batasan yang diberikan, ada persamaan di antara batasan tersebut yaitu
bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan
dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan,
perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses
belajar terjadi.
Media Pendidikan copyright 2016 Kuingin Baca |
B.
Perkembangan Media Pendidikan
Kalau kita lihat perkembangannya,
pada mulanya media hanya dianggap sebagai alat bantu mengajar guru (teaching aids). Alat bantu yang dipakai
adalah alat bantu visual, misalnya gambar, model, objek, dan alat-alat lain
yang dapat memberikan pengalaman konkret, motivasi belajar serta mempertinggi
daya serap dan retensi belajar siswa. Namun sayang, karena terlalu memusatkan
perhatian kepada alat bantu visual yang dipakainya maka orang kurang
memerhatikan aspek desain, pengembangan pembelajaran (instruction) produksi dan evaluasinya. Dengan masuknya pengaruh
teknologi audio pada sekitar pertengahan abad ke-20, alat visual untuk
mengkonkretkan ajaran ini dilengkapi dengan alat audio sehingga kita kenal
adanya alat audio visual atau audio
visual aids (AVA).
Bermacam peralatan dapat digunakan
oleh guru untuk menyampaikan pesan ajaran kepada siswa melalui penglihatan dan
pendengaran untuk menghindari verbalisme yang masih mungking terjadi kalau
hanya digunakan alat bantu visual semata. Dalam usaha memanfaatka media sebagai
alat bantu ini Edgar Dale mengadakan klasifikasi pengalaman menurut tingkat
dari yang paling konkret ke tingkat paling abstrak. Klasifikasi tersebut
kemudian dikenal dengan nama kerucut pengalaman (cone of experience) dari Edgar Dale dan pada saat itu dianut secara
luas dalam menentukan alat bantu apa yang paling sesuai untuk pengalaman
belajar tertentu.
Pada akhir tahun 1950 teori
komunikasi mulai memengaruhi penggunaan alat bantu audio visual, sehingga
selain sebagai alat bantu media juga berfungsi sebagai penyalur pesan atau
informasi belajar. Sejak saat itu, alat audio visual bukan hanya dipandang
sebagai alat bantu guru saja, melainkan juga sebagai alat penyalur pesan atau
media. Teori ini sangat penting dalam penggunaan media untuk kegiatan
program-program pembelajaran. Sayang sampai saat itu pengaruhnya masih terbatas
pada pemilihan media saja. Faktor siswa yang menjadi komponen utama dalam
proses belajar belum mendapat perhatian.
Baru pada tahun 1960-1965 orang
mulai memperhatikan siswa sebagai komponen yang penting dalam proses belajar
mengajar. Pada saat itu teori tingkah laku (behaviorism
theory) ajaran B. F Skinner mulai memengaruhi penggunaan media dalam
kegiatan pembelajaran. Teori ini mendorong orang untuk lebih memerhatikan siswa
dalam proses belajar mengajar. Menurut teori ini, mendidik adalah mengubah
tingkah laku siswa. Perubahan tingkah laku ini harus tertanam pada diri seswa
sehingga menjadi adat kebiasaan, setiap ada perubahan tingkah laku postif ke
arah tujuan yang dikehendaki, harus diberi penguatan (reinforcement), berupa pemberitahuan bahwa tingkah laku tersebut
telah betul. Teori telah mendorong diciptakannya media yang dapat mengubah
tingkah laku siswa sebagai hasil proses pembelajaran. Media instruksional yang
terkenal yang dihasilkan teori ini adalah teaching
machine and programmed instruction.
Pada tahun 1965-1970, pendekatan
sistem (system approach) mulai
menampakkan pengaruhnya dalam kegiatan pendidikan dan kegiatan pembelajaran. Pendekatan
sistem ini mendorong digunakannya media sebagai bagian integral dalam program
pembelajaran. Setiap program pembelajaran harus direncanakan secara sistematis
dengan memusatkan perhatian pada siswa. Program pembelajaran direncanakan
berdasarkan kebutuhan dan karakteristik siswa serta diarahkan berdasarkan
kebutuhan dan karakteristik siswa serta diarahkan kepada perubahan tingkah laku
siswa sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Dalam perencanan ini media yang
akan dipakai dan cara menggunakannya telah dipertimbangkan dan ditentukan
dengan seksama.
Pada dasarnya para guru dan ahli
audio visual menyambut baik perubahan ini. Guru-guru mulai merumuskan tujuan
pembelajaran berdasarkan tingkah laku siswa. Untuk mencapai tujuan pembelajaran
tersebut, mulai dipakai berbagai format media. Dari pengalaman mereka, guru
mulai belajar bahwa cara belajar siswa itu berbeda-beda, sebagian ada yang
lebih cepat belajar melalui audio visual, sebagian melalui audio, dan lain
sebagainya. Dari sini lahirlah konsep penggunaan multimedia dalam kegiatan
pembelajaran.
Kita dapat melihat dari uraian yang
dulu bahwa sudah selayaknya kalau media tidak lagi hanya dipandang sebagai alat
bantu belaka bagi guru untuk mengajar, tetapi lebih sebagai alat penyalur pesan
dari pemberi pesan (guru, penulisa buku, produser, dan sebagainya) ke penerima
pesan (siswa/pelajar). Sebagai pembawa pesan, media tidak hanya digunakan oleh
guru tetapi yang lebih penting lagi dapat pula digunakan oleh siswa. Oleh karena
itu, sebagai penyaji dan penyalur pesan dalam hal-hal tertentu, media dapat
mewakili guru menyampaikan informasi secara lebih teliti, jelas dan menarik. Fungsi
tersebut dapat dilaksanakannya sengan baik walau tanpa kehadiran guru secara fisik.
Peranan media yang semakin meningkat ini sering kali menimbulkan kekhawatiran
di pihak guru. Guru takut apabila kedua fungsinya akan digeser oleh media
pendidikan. Kekhawatiran semacam ini pernah pula terjadi pada saat masuknya
buku teks sebagai hasil ditemukannya mesin cetak ke sekolah. Seperti telah
dikatakan di depan, guru pada mulanya merupakan satu-saunya sumber belajar. Tuntutan
perkembangan zaman mengharuskan direkamnya pesan-pesan pendidikan dan
pembelajaran secara tertulis dalam bentuk buku. Pada saat itu guru juga merasa
tersaingi oleh media cetak ini.
Kekhawatiran-kekhawatiran semacam
itu sebenarnya tak perlu ada kalau kita ingat betul tugas dan peranan guru yang
sebenarnya. Memberikan perhatian dan bimbingan secara invidual kepada
siswa-siswanya adalah tugas penting yang selama ini belum dilaksanakan oleh
guru sepenuhnya. Guru dan media pendidikan hendaknya bahu-membahu dalam memberi
kemudahan belajar bagi siswa. Perhatian dan bimbingan secara individual dapat
dilaksanakan oleh guru dengan baik sementar informasi dapat pula disajikan
secara jelas, menarik, dan teliti oleh media pendidikan.
Sumber:
Sadiman, A. S., Rahardjo, R., Haryono,
A., Rahardjito. 2011. MEDIA PENDIDIKAN:
Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: RajaGrafindo
Sejahtera dan Pustekkom Dibud.