• About
  • Contact
  • Submit Article

Landasan dan Prinsip Pengembangan Kurikulum Part 1

 on Sunday, October 23, 2016  

Landasan dan Prinsip Pengembangan Kurikulum Part 1


Landasan dan Prinsip Pengembangan Kurikulum

Landasan dan Prinsip Pengembangan Kurikulum Part 1 - Apapun model kurikulum yang akan diterapkan harus memilikinlandasan dan prinsip pengembangan. Landasan pengembangan kurikulum dikaji secara mendalam sehingga tidak salah tafsir terhadap kondisi masyarakat yang akan dikembangkan dan tidak salah prediksi tentang masa depan. Sedangkan prinsip pengembangan harus diperhatikan oleh setiap pengembang agar kurikulum yang diciptakannya tidak tersesat.
                Kajian landasan kurikulum memiliki empat dimensi yaitu landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosiologis, dan landasan organisatoris. Semuanya dipertimbangkan dalam setiap pengembangan kurikulum.
1.         Landasan Filosofis Pengembangan Kurikulum
Wina Sanjaya (2008) menyatakan bahwa fungsi filsafat dalam proses pengembangan kurikulum adalah untuk menentukan arah dan tujuan pendidikan, menentukan isi atau materi kurikulum, menentukan srategi atau cara pencapaian tujuan, dan menentukan tolak ukur keberhasilan pendidikan.
Atas dasar tersebut, setiap kebijakan kurikulum yang diberlakukan di suatu negara harus bersifat transparan. Artinya terbuka dan harus diketahui oleh masyarakat. Jika ada kurikulum yang dikembangkan berdasar pada kepentingan sesaat maka tidak hanya merugikan materiil tetapi juga mengorbankan masa depan generasi penerus bangsa kita.
Pilihan filsafat yang dapat dijadikan landasan pengembangan kurikulum menurut Ella Yulaelawati (2003) ada lima filsafat dasar dalam pengembangan kurikulum yaitu perenialisme, esenisalisme, eksistensialisme,progresivisme dan rekonstruktivisme:
a.         Perenialisme adalah filsafat yang memimpikan keteraturan hidup sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang mapan. Dengan demikian, pendidikan harus diarahkan pada kajian kebudayaan di masa lalu yang telah teruji dan tangguh dalam membangun masyarakat. Perenialisme menganjurkan untuk menggunakan prinsip-prinsip yang telah baku dan terbukti ampuh membentuk suatu kepribadian, sikap, dan kebiasaan peserta didik.
b.         Esensialisme adalah filsafat yang memandang penting proses pewarisan budaya dalam pendidikan. Agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna, peserta didik diberi pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan oleh masyarakat.
c.          Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang kebenaran berdasarkan pada diri manusia secara individu. Pandangan terhadap nilai kebenaran adalah relatif karena itu masing-masing individu bebas untuk menentukan sesuatu yang dianggap benar. Doktrin filsafat eksistensialisme yang paling dikenal adalah dari Jean Paul Sartre yaitu “human is condemned to be free”, manusia telah ditakdirkan untuk bebas dan karena itu berusaha untuk tidak tergantung kepada siapapun. Namun demikian, mereka masih menghargai bahwa karena kebebasan dimiliki oleh setiap manusia, maka kebebasan akan dibatasi oleh kebebasan orang lain. Dalam pendidikan, eksistesialis masaih dapat digunakan karena memiliki nilai kebebasan untuk mengkaji banyak hal, baik tentang enda, perasaan, pikiran, maupun tentang eksistensi manusia itu sendiri. Hal ini akan membuka diri terhadap pengalaman baru dan menghargai pendapat orang lain.
d.         Progresivisme adalah aliran filsafat untuk mempertahankan hidup, dengan bebas menentukan jalan yang akan ditempuhnya. Nilai-nilai yang dianutnya bersifat fleksibel, terbuka terhadap perubahan, dan toleran. Aliran ini mengharapkan peserta didik untuk selalu merasa ingin tahu, suka meneliti, mencari pengalaman hidup, terbuka, sangat suka terhadap ide-ide baru, dan mendengarkan kritik dari lawan bicaranya. Dalam pendidikan, pengaruh aliran ini sangat mendalam dan banyak dianjurkan karena menuntut peserta didik untuk aktif belajar.
e.         Rekonstruktivisme adalah pengembangn dari aliran progresisme yang menuntut kreativitas peserta didik dalam pemecahan masalah. Karena itu sangat didorong agar mereka mampu berpikir kritis untuk mencari solusi.

Aliran perenialisme, esensialisme, dan eksistensialisme umumnya digunakan untuk memberi landasan terhadap karakter dan agama sehingga sering menggunakan nama mata pelajaran sesuai dengan disiplin ilmu yang telah berkembang sejak dulu. Aliran filsafat progresivisme banyak mendukung model kurikulum humanistik. Sedangkan filsafat rekonstruktivisme dijadikan landasan dalam pengembangan model rekonstruksi sosial dan interaksional sosial. Landasan filosofi kurikulum biasanya diarahkan untuk mendiskusikan tentang tujuan pendidikan secara umum dan akan menjalarkan kepada masalah lain dari komponen kurikulum.
2.         Landasan Psikologis Pengembangan Kurikulum
Landasan psikologis memliki fungsi sebagai pemandu dalam pelaksanaan kurikulum, khususnya memandu pelaksanaan pmbelajaran. Banyak teori psikologis yang dapat dipilih untuk mengembangkan kurikulum. Namun secara umum akan mengacu pada empat teori yaitu teori belajar behavioristik (fungsionalistik), kognitivistik, humanistik, dan konstruktivistik.
Teori belajar behavioristik memandang keberhasilan belajar seseorang dari perubahan tingkah lakunya. Untuk meningkatkan efektivitas belajar, perlu mengontrol instrument yang berasal dari pengkondisian lingkungan.
Dari sekian ahli, yang cukup menonjol adalah Thorndike dan Skinner. Menurut Thorndike, belajar adalah proses timbal balik dari stimulus dan respon. Stimulu adalah rangsangan yang menimbulkan proses belajar sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan pada saat belajar. Perubahan tingkah laku merupakan proses yang dilatihkan melalui stimulus dan respon. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionismen (Slavin, 2000). Skinner mengembangkan aliran behavioristik dengan teori operant conditioning. Menurut Skinner, belajar adlah proses respons yang dibentuk karena penguatan terhadap perubahan tingkah laku yang dikehendaki. Skinner menyarankan agar guru selalu memberi penguatan positif secara sistematis, bervairiasi, dan sesegera mungkin ketika terjadi respon belajar dari peserta didik supaya tingkah laku baik tersebut, dilakukan kembali oleh peserta didik. (Puskurbuk, 2012).
Teori bevaioristik memberi manfaat bagi pengembang kurikulum untuk memikirkan tentang skenario pembelajaran yang dapat menimbulkan proses belajar peserta didik, baik yang bersifat langsung (instructional effect) maupun yang tidak langsung (nurturant effect). Pengembang kurikulum harus dapat memastikan standar sarana dan prasaran bangunan, ruang kelas, luas halaman sekolah, dan berbagai lingkungan yang dibutuhkan yang dapat menimbulkan proses belajar bagi peserta didik. Teori lain yang sering dijadikan pertimbangan oleh tim pengembang kurikulum adalah teor kognitif. Jerome Bruner merupakan pelopor aliran ini. Ia mengatakan bahwa pengetahuan manusia itu diperoleh melalui proses kesadaran dan akan berhasil jika yang bersangkutan aktif membangun pengetahuannya sendiri dari informasi yang diperolehnya. Selanjutnya Bruner mengatakan bahwa untuk memudahkan belajar, diperlukan “scaffolding” atau perancah untuk menempatkan informasi pada cabang-cabangnya. Berdasarkan pada konsep scaffolding, kurikulum sebaiknya dikembangkan secara spiral yaitu mengajarkan secara bertahap dari hal yang sederhana menuju hal yang rumit dan dari lingkungan terdekat menuju lingkungan yang lebih luas.
Tokoh aliran kognitif lainnya yang sangat terkenal adalah Jean Piaget yang telah membagi fase perkembangan intelektual anak ke dalam empat tahapan (Yani, 2010), yaitu:
a.         Tahap sensor motorik (0-2 tahun) dengan ciri kemampuan anak megenal lingkungannya melalui alat sensoriknya dan belum memiliki konsepsi yang mendalam. Ia mempercayai apa yang dilihat dan tidak meyakini terhadap sesuatu yang tifak dilihat atau dirasakannya. Anak yang ditinggal oleh ibunya menangis.
b.         Tahap pra operasional (2-7 tahun) dengan ciri perkembangan sudah mengenali diri dan mampu memersepsi tentang realitas kehidupan yang ada di luar dirinya. Ia telah mampu menggunakan bahasa, memahami konsep, memakai simbol, membuat gambar, dan mengelompokkan warna dan bentuk yang berbeda.
c.          Tahap operasional konkrit (7-10 tahun). Anak sudah mampu bepikir logis. Mereka sudah memiliki konsepsi yang lengkap tentang realitas. Selain itu, ia dapat mengikuti penalaran logis walaupun terkadang suka mencoba-coba pada saat mengatasi masalah (trial and error).
d.         Tahap operasional formal (11 tahun ke atas). Peserta didik sudah dianggap dewasa, mampu berpikir abstrak, dan dianggap matang secara intelektual. Anak sudah mampu belajar mandiri dan menambah ilmu pengetahuannya.

Piaget juga mengatakan bahwa dalam proses penambahan ilmu pengetahuan, pada setiap individu akan mengalami proses asimilasi dan akomodasi. Asimiliasi adalah proses penambahan pengetahuan tanpa mengubah skema awal yang telah ada. Sedangkan akomodasi adalah menyususn dan membangun kembali apa yang telah diketahui sebelumnya akibat ada informasi yang baru dan tidak cocok dengan skema awal. Ia mengubah konsep awal dan digantikan dengan yang baru atau sedikit dimodifikasi sehingga menjadi ilmu pengetahuan baru. (Suparno, 1997).
Teori lain yang juga dijadikan bahan pertimbangan dalam pengembangan kurikulum adalah teori humanistik. Aliran ini berusaha mencari jalan agar dapat menumbuhkembangkan manusia dengan sempurna. Materi ajr dipilih secara selektif yaitu memilih yang terbaik bagi peserta didik. Tokoh yang paling populer adalah Abraham Maslow yang memerkenalkan teori kebutuhan. Tahapan kebutuhan yang harus terpenuhi adalah kebutuhan biologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan ssial, kebutuhan untuk berprestasi, dan kebutuhan aktualisasi. Gagasan pokok teori ini adalah memberi kebebasan kepada peserta didik untuk menentukan materi dan cara belajarnya sesuai dengan minatnya. Peserta didik diminta untuk berani mengambil keputusan sendiri dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambil.

Teori belajar lain yang saat ini menjadi pusat perhatian adalah teori konstruktivistik yang memahami belajar dan proses pembentukan pengetahuan dan bukan hasilnya. Gagasan pokoknya adalah bahwa pengetahuan tu tidak dapat dipindahkan (dituangkan, ditransfer, atau dijejalkan) dari otak seseorang kepada otang orang lain. Penetahuan hanya dapat dibentuk oleh peserta didik dan pihak guru hanya berperan sebagai fasilitator agar peserta didik mampu menkonstruksi pengetahuan sendiri. Aliran ini memandang bahwa belajar seperti menyusun puzzle yang ditata secara khas oleh individu hingga akhirnya bermakna bagi dirinya. (Suparno, 1997).





Kelanjutan materi ini bisa di klik Landasan dan Prinsip Pengembangan Kurikulum Part 2

Landasan dan Prinsip Pengembangan Kurikulum Part 1 4.5 5 Kuingin Baca Sunday, October 23, 2016 Landasan dan Prinsip Pengembangan Kurikulum Part 1 Landasan dan Prinsip Pengembangan Kurikulum Part 1 Landasan dan Prinsip Pengembangan Kurikulum Part 1 - Apapun model kurikulum yan...


Kuingin Baca